Jumat, 10 Oktober 2008

Membangun Budaya Kerja Islami

Fathul Wahid : October 4th, 2007

Kerja pada hakekatnya adalahnya manifestasi amal kebajikan. Sebagai sebuah amal, maka niat dalam menjalankannya akan menentukan penilaian. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya nilai amal itu ditentukan oleh niatnya.” Amal seseorang akan dinilai berdasar apa yang diniatkannya. Suatu hari Nabi Muhammad berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Nabi Muhammad melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya Nabi kepada Sa’ad. “Wahai Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu Nabi mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”.

Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Nabi Muhammad. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Nabi pun menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah.” (HR. Ath-Thabrani).

Kerja adalah perintah suci Allah kepada manusia. Meskipun akhirat lebih kekal daripada dunia, namun Allah tidak memerintahkan hambanya meninggalkan kerja untuk kebutuhan duniawi.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.” (QS. Al-Qashash: 77).


“Bukanlah orang yang paling baik darimu itu yang meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak pula yang meninggalkan akhiratnya karena dunianya. Sebab, dunia itu penyampaian pada akhirat dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia.” (HR. Ibnu ‘Asakir dari Anas).

Adanya siang dan malam dalam alam dunia ini, merupakan isyarat akan adanya kewajiban bekerja (pada siang hari).

“Dan Kami telah membuat waktu siang untuk mengusahakan suatu kehidupan.” (QS. An-Naba’: 11).

“Kami telah menjadikan untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan. Tetapi sedikit sekali kamu berterima kasih,” (QS. Al-A’raf: 10).

“Apabila Telah ditunaikan shalat, maka menyebarlah di bumi dan carilah dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum’ah: 10).

Untuk memberikan motivasi dalam bekerja, Nabi Muhammad, menggunakan bahasa yang sangat mengunggah dan menyadarkan. “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu, seolah-olah kamu akan mati besok.” (HR. Baihaqi).

Bekerja juga akan membuat manusia lebih merdeka, dengan tidak menggantungkan diri kepada orang lain, seperti dengan meminta-minta. “Demi, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, dengan bekerja itu Allah mencukupi kebutuhanmu, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain. (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah pernah ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan terbaik adalah usahanya seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang dianggap baik” (HR. Ahmad, Baihaqi, dan lain-lain).

Islam juga menganjurkan untuk bekerja dengan sepenuh hati untuk memberikan kualitas hasil terbaik. Bahkan kerja keras yang ikhlas merupakan penghapus dosa.

“Sebaik-baik pekerjaan ialah usahanya seorang pekerja jika ia berbuat sebaik-baiknya” (HR. Ahmad).

“Siapa bekerja keras hingga lelah dari kerjanya, maka ia terampuni (dosanya) karenanya.” (Al-Hadist).

“Berpagi-pagilah dalam mencari rezeki dan kebutuhan hidup. Sesungguhnya pagi-pagi itu mengandung berkah dan keberuntungan” (HR. Ibnu Adi dari Aisyah).

“Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya” (Al-Hadist).

Bekerja tidak akan lepas dari bingkai hubungan sosial, karenanya aturan-aturan yang ada harus dipatuhi. Etika dalam bekerja tetap harus dijaga.

“Carilah kebutuhan hidup dengan senantiasa menjaga harga diri. Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (HR. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).

Dalam konteks sosial (termasuk organisasional) bekerja adalah amanah. Amanah harus ditunaikan dengan baik. Pengabaian terhadap amanah adalah sebuah pengkhianatan yang merupakan salah satu tanda orang munafik.

Bekerja dengan sungguh-sungguh adalah syarat sebuah kemajuan. kemajuan yang didapat tanpa kerja keras adalah pengingkaran sunnatullah.

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d: 11).

Dalam ayat lain diungkapkan “Dan bahwa seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.“ (QS. Al-Najm: 39).

Mari, dalam bekerja, kita luruskan niat, kuatkan motivasi, perhatikan etika dan aturan yang ada, sebagai upaya penuaian amanah yang merupakan syarat kemajuan.

Tidak ada komentar: